Neon tetra merupakan salah satu ikan pajangan akuarium yang cukup menarik. Kehadirannya sebagai ikan hias air tawar bukan hanya mempesona para akuaris, melainkan para pengusaha pun turut memperhitungkannya. Itu karena ikan kecil yang hanya dapat mencapai 4 cm ini, termasuk salah satu yang mempunyai nilai ekspor.
Keberhasilan neon tetra dalam merebut pasaran ekspor adalah berkat jasa William T. innes, yang mencoba memperkenalkan ikan ini di Amerika dan negara Eropa lainnya.
Untuk menghargai jasa William T. innes, maka para ahli sepakat untuk mengabadikan sebagian nama beliau pada nama ilmiah ikan neon tetra, yakni Hyphessobrycon innesi Myers.
Ikan yang pada sisi perutnya berwarna merah dengan strip biru muda memanjang dibagian tengah dan berwarna gelap pada bagian punggung, cocok untuk akuarium umum. Artinya, ikan ini bisa hidup damai dengan ikan hias lain dalam satu akuarium. Ia betah hidup pada suhu antara 20 - 26 derajat Celcius.
Diantara ikan - ikan yang tergabung dalam kelompok tetra dari keluarga Characidae, neon tetra termasuk yang agak sulit dipijahkan. Barangkali hal inilah yang membuat neon tetra mampu bertahan dengan harga yang relatif lebih tinggi dibanding ikan hias lain yang selevel. Meskipun secara fisik jantan dan betina mudah dibedakan. Ikan jantan umumnya lebih ramping dibandingkan betina. Demikian juga garis yang terdapat pada badannya. Pada yang jantan berbentuk lurus, sedangkan pada yang betina bengkok.
Pemijahan Cara Bartman
Pada bulan Mei 1952, G. Bartman membeberkan rahasia bagaimana cara memijahkan ikan neon tetra yang pada waktu itu dirahasiakan oleh para akuaris Jerman. Dan kemudian teknik pemijahan itu lebih populer dengan " Cara Bartman " ( Bartman's Method).
Mungkin diantara Anda ada yang ingin mencobanya ? Ikutilah petunjuk berikut ini, seperti yang ditulis oleh Dr. Herbert R Axelrod. Caranya begini ; sediakan sebuah akuarium dengan ukuran 30 X 25 X 25 cm. Kemudian bersihkan dan sterilkan akuarium tersebut. Selanjutnya isilah dengan air suling (destilasi) setinggi 11 cm dan biarkan selama 2 minggu.
Setelah itu buatlah larutan khusus untuk menstabilkan pH air media pemijahan. Caranya, sediakan sebuah botol jar (botol bekas selei). Kemudian larutkan potongan batang pohon "oak" (Quercus spp) dengan air suling, lalu saringlah larutan tersebut. Selanjutnya, larutan khusus yang telah bersih dicampur dengan air media pemijahan, sambil diukur sampai pHnya mencapai 6,5.
Langkah berikutnya, siapkan serumpun tanaman air dari jenis fontinalis. Sebelum digunakan, fontinalis perlu disterilkan lebih dahulu dengan suatu larutan berupa campuran antara 1 sendok makan tawas dengan 1 liter air suling.
Fontinalis yang sudah steril kemudian ditempatkan di tengah - tengah akuarium pemijahan. Suhu air dalam akuarium dipertahankan antara 23 - 24 derajat Celcius. Selanjutnya masukkan sepasang induk neon tetra yang sudah berumur lebih dari 9 bulan. Cahaya disekitar tempat pemijahan diusahakan agak teduh.
Begitu selesai memijah, yang ditandai dengan adanya telur di dalam akuarium, segera kedua induknya dipindahkan. Hal ini penting untuk mencegah telur itu dimakan kembali oleh induknya. Akuarium dengan telur neon tetra di dalamnya kemudian ditutup selama 24 jam, tidak boleh ada cahaya yang masuk. Suasananya diciptakan setenang mungkin. Setelah burayak berumur 3 hari sejak menetas, sudah bisa diberi makanan hidup berupa artemia.
Mengawinkan ikan neon tetra memang relatif sulit. tetapi harapan yang dijanjikan cukup menggairahkan.
NB :
Dewasa ini ikan neon tetra sudah banyak berhasil dipijahkan di Indonesia, terutama disekitar Sawangan dan Depok yang termasuk salah satu daerah sentra pemijahan ikan - ikan tetra, yang penulis sendiri sering lakukan berkunjung ke sana.
Sumber : Suara Karya ( 27 Desember 1988 ), Dok. Trubus.
Tampilkan postingan dengan label Tetra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tetra. Tampilkan semua postingan
2011/05/17
2011/04/25
Congo tetra (Phenacogrammus interruptus)
Bagi penggemar maupun pembudidaya ikan hias air tawar, Congo tetra tentu tidak terlalu asing. Selain cantik, Congo yang merupakan salah satu keluarga Characidae, juga bisa mencapai ukuran besar dibandingkan dengan ikan - ikan tetra lainnya. Congo betina bisa tumbuh sampai 6 cm, sedangkan yang jantan malah bisa mencapai 8 cm.
Dari namanya, kita sudah bisa menerka, kalau ikan yang bila berenang suka bergerombol ini, bukan asli Indonesia. Tepatnya ia berasal dari perairan umum Congo di benua Afrika.
Sepintas, Congo kelihatannya istimewa, terutama yang betina. Sosoknya biasa saja, seperti ikan kebanyakan. Tapi mengapa Congo cukup dikenal dikalangan pembudidaya ikan hias ? Pasti ada sesuatu tentang ikan ini. Namun yang jelas, seperti juga beberapa ikan introduksi lain, ternyata Congo cocok dan bisa dikembangkan di Indonesia. Disisi lain, secara ekonomis Congo termasuk menguntungkan bila diusahakan secara serius.
Dalam dunia perikanhiasan, Congo memang belum sejajar dengan Discus, atau ikan - ikan hias mahal lainnya. Tetapi dari segi bisnis ikan hias, jelas Congo masih diatas rata - rata jenis ikan sekerabatnya. Ini dimungkinkan karena tidak semua orang mampu mengembangbiakan Congo.
Ikan yang pada kedua sisi, kiri dan kanan badannya ditutupi oleh sisik besar ini, akan memancarkan warna lembayung (violet) bila diterpa oleh cahaya lampu. Tubuh Congo terdiri dari kombinasi warna - warna pelangi, sehingga ia tampak cemerlang bila sedang meliuk - liuk didalam akuarium yang terang.
Demikian pula dengan sirip - siripnya, berwarna kereah - merahan dengan kombinasi violet pada bagian pinggirnya.
Daya tarik lain dari Congo adalah bentuk siripnya. Pada ikan jantan, jari - jari sirip punggung sangat panjang, sehingga menyerupai rumbai. Hal yang sama juga terdapat pada sirip ekor. Diantara cagak ekor tumbuh jari - jari sirip memanjang seperti kucir. Bentuk yang demikian tidak terlihat pada ikan betina. Sehingga secara visual dengan mudah kita bisa membedakan antara jantan dan betina.
Kiat kawinkan Congo Tetra
Kunci keberhasilan pemijahan ikan yang bersifat pendamai ini, sebenarnya terletak pada pH dan kesadahan air. Hal ini telah dibuktikan oleh Dr. Meder - seorang ahli ikan hias Jerman.
Dr. Meder berhasil mengawinkan Congo dengan cara menurunkan pH air dibawah 6 dan kesadahan tidak melebihi 6 DH (Degrees of Hardness). Caranya, air yang akan dipakai untuk pemijahan, ia campur dengan 10 liter air yang telah ditambahkan 1/10 butir asam tanik (tanic acid). Sebelum digunakan, campuran air itu harus diendapkan dulu selama 2 - 3 hari, begitu Meder menyarankan.
Cara lain juga yang populer, yang berkaitan dengan pH dan kesadahan, adalah cara "meng-asamkan air". Air yang akan dipakai untuk pemijahan, dilewati melalui saringan "lumut bahan pembakar" (peat moss), yaitu berupa filter yang berisi sabut kelapa. Sehingga air berubah warna menjadi kuning sawo. Sebelum digunakan, air ini dicampur dulu dengan 10 liter air yang telah diberi garam dapur yang tidak beryodium sebanyak 1 (satu) sendok teh. Maksudnya sebagai disinfektan. Sehingga telur dan sperma induk nantinya tidak mudah terserang jamur atau penyakit.
Karena Congo suka bergerombol, ada baiknya kalau tempat untuk pemijahan disediakan akuarium yang berukuran besar. Untuk mengawinkan induk sebanyak 2 ekor jantan dengan 6 ekor betina (1 : 3) bisa digunakan akuarium ukuran 100 X 50 X 50 cm, dengan tinggi air sekitar 40 cm.
Jika sehari - hari, Congo betah pada suhu antara 22 - 29 derajat Celcius, maka pada waktu pemijahan harus diusahakan sekitar 24,4 derajat Celcius. Kemudian yang tidak kalah penting adalah karena sifat telur Congo yang sedikit menempel, maka perlu adanya suatu subtrat untuk tempat menempel. Biasanya digunakan tanaman air yang agak lunak seperti hydrilla, tentunya yang sudah bebas dari hama dan bibit penyakit.
Jika semua persiapan telah selesai, tibalah saatnya kita memasukkan induk - induk yang telah matang kelamin. Induk yang baik umumnya sudah berumur 1 (satu) tahun dengan panjang lebih dari 5 cm. Agar tidak keliru, selain berbeda sirip punggungnya dan sirip ekor, induk jantan umumnya berwarna lebih cerah. Sedangkan yang betina agak pucat.
Pemijahan biasanya terjadi stelah 3 - 4 hari sejak induk - induk dilepaskan. Setelah kelihatan tanda - tanda pemijahan berakhir, induk - induk sudah bisa dipindahkan ke tempat (akuarium) yang lain.
Menurut Dr. Meder, telur Congo baru menetas setelah 6 hari. Dan dalam waktu 24 - 36 jam kemudian, benih - benih sudah kelihatan berenang dengan bebas. Pada umur 3 hari, benih Congo sudah bisa diberikan makanan hidup berupa infusoria, atau artemia yang baru menetas. Seminggu kemudian, ukuran makanan yang diberikan bisa ditingkatkan, misalnya kutu air saring. Setelah itu, ukuran makanan disesuaikan dengan ukuran ikan.
Sumber : Suara Karya ( 13 Maret 1990 ), Dok. Trubus.
Dari namanya, kita sudah bisa menerka, kalau ikan yang bila berenang suka bergerombol ini, bukan asli Indonesia. Tepatnya ia berasal dari perairan umum Congo di benua Afrika.
Sepintas, Congo kelihatannya istimewa, terutama yang betina. Sosoknya biasa saja, seperti ikan kebanyakan. Tapi mengapa Congo cukup dikenal dikalangan pembudidaya ikan hias ? Pasti ada sesuatu tentang ikan ini. Namun yang jelas, seperti juga beberapa ikan introduksi lain, ternyata Congo cocok dan bisa dikembangkan di Indonesia. Disisi lain, secara ekonomis Congo termasuk menguntungkan bila diusahakan secara serius.
Dalam dunia perikanhiasan, Congo memang belum sejajar dengan Discus, atau ikan - ikan hias mahal lainnya. Tetapi dari segi bisnis ikan hias, jelas Congo masih diatas rata - rata jenis ikan sekerabatnya. Ini dimungkinkan karena tidak semua orang mampu mengembangbiakan Congo.
Ikan yang pada kedua sisi, kiri dan kanan badannya ditutupi oleh sisik besar ini, akan memancarkan warna lembayung (violet) bila diterpa oleh cahaya lampu. Tubuh Congo terdiri dari kombinasi warna - warna pelangi, sehingga ia tampak cemerlang bila sedang meliuk - liuk didalam akuarium yang terang.
Demikian pula dengan sirip - siripnya, berwarna kereah - merahan dengan kombinasi violet pada bagian pinggirnya.
Daya tarik lain dari Congo adalah bentuk siripnya. Pada ikan jantan, jari - jari sirip punggung sangat panjang, sehingga menyerupai rumbai. Hal yang sama juga terdapat pada sirip ekor. Diantara cagak ekor tumbuh jari - jari sirip memanjang seperti kucir. Bentuk yang demikian tidak terlihat pada ikan betina. Sehingga secara visual dengan mudah kita bisa membedakan antara jantan dan betina.
Kiat kawinkan Congo Tetra
Kunci keberhasilan pemijahan ikan yang bersifat pendamai ini, sebenarnya terletak pada pH dan kesadahan air. Hal ini telah dibuktikan oleh Dr. Meder - seorang ahli ikan hias Jerman.
Dr. Meder berhasil mengawinkan Congo dengan cara menurunkan pH air dibawah 6 dan kesadahan tidak melebihi 6 DH (Degrees of Hardness). Caranya, air yang akan dipakai untuk pemijahan, ia campur dengan 10 liter air yang telah ditambahkan 1/10 butir asam tanik (tanic acid). Sebelum digunakan, campuran air itu harus diendapkan dulu selama 2 - 3 hari, begitu Meder menyarankan.
Cara lain juga yang populer, yang berkaitan dengan pH dan kesadahan, adalah cara "meng-asamkan air". Air yang akan dipakai untuk pemijahan, dilewati melalui saringan "lumut bahan pembakar" (peat moss), yaitu berupa filter yang berisi sabut kelapa. Sehingga air berubah warna menjadi kuning sawo. Sebelum digunakan, air ini dicampur dulu dengan 10 liter air yang telah diberi garam dapur yang tidak beryodium sebanyak 1 (satu) sendok teh. Maksudnya sebagai disinfektan. Sehingga telur dan sperma induk nantinya tidak mudah terserang jamur atau penyakit.
Karena Congo suka bergerombol, ada baiknya kalau tempat untuk pemijahan disediakan akuarium yang berukuran besar. Untuk mengawinkan induk sebanyak 2 ekor jantan dengan 6 ekor betina (1 : 3) bisa digunakan akuarium ukuran 100 X 50 X 50 cm, dengan tinggi air sekitar 40 cm.
Jika sehari - hari, Congo betah pada suhu antara 22 - 29 derajat Celcius, maka pada waktu pemijahan harus diusahakan sekitar 24,4 derajat Celcius. Kemudian yang tidak kalah penting adalah karena sifat telur Congo yang sedikit menempel, maka perlu adanya suatu subtrat untuk tempat menempel. Biasanya digunakan tanaman air yang agak lunak seperti hydrilla, tentunya yang sudah bebas dari hama dan bibit penyakit.
Jika semua persiapan telah selesai, tibalah saatnya kita memasukkan induk - induk yang telah matang kelamin. Induk yang baik umumnya sudah berumur 1 (satu) tahun dengan panjang lebih dari 5 cm. Agar tidak keliru, selain berbeda sirip punggungnya dan sirip ekor, induk jantan umumnya berwarna lebih cerah. Sedangkan yang betina agak pucat.
Pemijahan biasanya terjadi stelah 3 - 4 hari sejak induk - induk dilepaskan. Setelah kelihatan tanda - tanda pemijahan berakhir, induk - induk sudah bisa dipindahkan ke tempat (akuarium) yang lain.
Menurut Dr. Meder, telur Congo baru menetas setelah 6 hari. Dan dalam waktu 24 - 36 jam kemudian, benih - benih sudah kelihatan berenang dengan bebas. Pada umur 3 hari, benih Congo sudah bisa diberikan makanan hidup berupa infusoria, atau artemia yang baru menetas. Seminggu kemudian, ukuran makanan yang diberikan bisa ditingkatkan, misalnya kutu air saring. Setelah itu, ukuran makanan disesuaikan dengan ukuran ikan.
Sumber : Suara Karya ( 13 Maret 1990 ), Dok. Trubus.
2011/04/03
Palmeri (Nematobrycon palmeri), Emperor Tetra
Penampilannya biasa saja, tapi para hobies akuaris di mancanegara memberinya gelar kaisar. Palmeri memang tidak seanggun Discus, juga tidak segagah Arwana. Sosoknya seperti ikan kebanyakan. Ukuran maksimal yang dapat dicapai hanya 5,5 cm. Yang menarik "trisula" di ekornya itu bukan untuk menyerang musuh. Melainkan hanya sebagai variasi dari bentuk sirip ekor. Dan itulah salah satu keunikan yang menjadi daya tarik Palmeri sebagai ikan hias air tawar. Selain itu pesona Palmeri terletak pada bentuk dan warna tubuhnya. Kalau kita amati, sirip-siripnya punya satu keunikan, Palmeri tidak mempunyai "Adipose fin", yaitu sirip tambahan yang terletak antara sirip ekor dan sirip punggung. Sedangkan sirip duburnya memanjang sampai pangkal ekor. Hampir semua siripnya berwarna sama, yaitu kuning muda kecoklat-coklatan dengan jari sirip depan berwarna hampir hitam. Badannya seolah-olah terbagi dua oleh garis hitam yang memanjang sampai ke cagak tengah sirip ekor. Bagian bawah lebih gelap dibanding bagian atas. Sekilas, tubuh Palmeri terkesan didominasi warna coklat. Padahal, warna ini merupakan kombinasi antara coklat, kuning, dan biru. Di luar negeri ikan Palmeri banyak ditemukan di daerah aliran sungai San Juan, Columbia.
Palmeri, pertama kali diketemukan oleh Carl Eigenmann pada tahun 1911. Namun, baru pada tahun 1960 ikan ini diorbitkan sebagai ikan hias. Sehari-hari "Sang Kaisar" ini hidup pada suhu antara 22 - 24 derajat Celcius. Tapi kalau kawin ia perlu suhu, sekitar 26 - 28 derajat Celcius.
PEMIJAHAN DI AKUARIUM
Palmeri termasuk ikan tidak produktif. Namun bukan berarti ia tidak bisa dikawinkan. Pada prinsipnya, Palmeri dapat memijah meskipun di luar lingkungan alam aslinya. Asalkan semua persyaratan untuknya dipenuhi. Palmeri memijah seperti kebanyakan ikan tetra lainnya. Telurnya diletakkan pada rumput tanaman air. Kebiasaan ini lah yang sering dimanipulasi oleh para pembudidaya ikan hias, dengan cara mengganti tanaman air asli dengan yang palsu. dan bahkan sering dibuatkan semacam rumbai-rumbai dari benang nylon atau tali rapia.
Syarat pertama yang harus dipenuhi bila hendak mengawinkan Palmeri adalah mengetahui secara pasti induk jantan dan betina yang siap untuk dipijahkan. Pekerjaan ini tentunya tidak terlalu sulit, induk jantan selain cagak tengah ekornya lebih panjang, juga ukuran badannya lebih besar dibandingkan betina.
Kalau pemijahannya dilakukan di akuarium, cukup kita sediakan akuarium berukuran : 50 X 20 X 20, air yang digunakan harus jernih (bersih), lunak dan sedikit asam dengan pH sekitar 6,4 - 6,8, serta kesadahannya sekitar 20 - 50 ppm.
Pemijahan berlangsung diantara kerimbunan semak-semak belukar tanaman air. Karena itu, akuarium perlu diberi tanaman air untuk tempat pemijahannya. Yang paling cocok, adalah jenis Myriophyllum. Jadi, tanaman air ini disamping untuk menyusup pada waktu kejar-kejaran, juga untuk meletakkan telur.
Pemijahan ini terjadi apabila suasananya tenang dan cahayanya redup. Seekor induk betina yang baik, mampu bertelur sebanyak 50 - 100 butir.
Tanda-tanda pemijahan telah berlangsung apabila sudah terlihat telur-telur Palmeri menempel pada tanaman atau berserakan di dasar akuarium. Begitu pemijahan berakhir, kedua induk segela diangkat.
Telur-telur biasanya menetas setelah 48 jam (pada suhu 28 derajat Celcius). Sehari kemudian, larvanya sudah terlihat menggantung atau menempel pada tanaman air. Baru pada hari ke 4 atau 5, benih Palmeri sudah dapat berenang dengan bebas. Umur seminggu, benih bisa diberi makan infusoria. Minggu berikutnya diberi makanan yang ukurannya lebih besar seperti artemia atau dapnia.
Seperti halnya ikan tetra lainnya, Palmeri ini juga banyak diminta oleh para eksportir ikan hias. Melihat prospek yang cukup baik, barangkali tidak ada salahnya kalau kita mulai membudidayakan ikan hias ini secara intensif.
Palmeri, pertama kali diketemukan oleh Carl Eigenmann pada tahun 1911. Namun, baru pada tahun 1960 ikan ini diorbitkan sebagai ikan hias. Sehari-hari "Sang Kaisar" ini hidup pada suhu antara 22 - 24 derajat Celcius. Tapi kalau kawin ia perlu suhu, sekitar 26 - 28 derajat Celcius.
PEMIJAHAN DI AKUARIUM
Palmeri termasuk ikan tidak produktif. Namun bukan berarti ia tidak bisa dikawinkan. Pada prinsipnya, Palmeri dapat memijah meskipun di luar lingkungan alam aslinya. Asalkan semua persyaratan untuknya dipenuhi. Palmeri memijah seperti kebanyakan ikan tetra lainnya. Telurnya diletakkan pada rumput tanaman air. Kebiasaan ini lah yang sering dimanipulasi oleh para pembudidaya ikan hias, dengan cara mengganti tanaman air asli dengan yang palsu. dan bahkan sering dibuatkan semacam rumbai-rumbai dari benang nylon atau tali rapia.
Syarat pertama yang harus dipenuhi bila hendak mengawinkan Palmeri adalah mengetahui secara pasti induk jantan dan betina yang siap untuk dipijahkan. Pekerjaan ini tentunya tidak terlalu sulit, induk jantan selain cagak tengah ekornya lebih panjang, juga ukuran badannya lebih besar dibandingkan betina.
Kalau pemijahannya dilakukan di akuarium, cukup kita sediakan akuarium berukuran : 50 X 20 X 20, air yang digunakan harus jernih (bersih), lunak dan sedikit asam dengan pH sekitar 6,4 - 6,8, serta kesadahannya sekitar 20 - 50 ppm.
Pemijahan berlangsung diantara kerimbunan semak-semak belukar tanaman air. Karena itu, akuarium perlu diberi tanaman air untuk tempat pemijahannya. Yang paling cocok, adalah jenis Myriophyllum. Jadi, tanaman air ini disamping untuk menyusup pada waktu kejar-kejaran, juga untuk meletakkan telur.
Pemijahan ini terjadi apabila suasananya tenang dan cahayanya redup. Seekor induk betina yang baik, mampu bertelur sebanyak 50 - 100 butir.
Tanda-tanda pemijahan telah berlangsung apabila sudah terlihat telur-telur Palmeri menempel pada tanaman atau berserakan di dasar akuarium. Begitu pemijahan berakhir, kedua induk segela diangkat.
Telur-telur biasanya menetas setelah 48 jam (pada suhu 28 derajat Celcius). Sehari kemudian, larvanya sudah terlihat menggantung atau menempel pada tanaman air. Baru pada hari ke 4 atau 5, benih Palmeri sudah dapat berenang dengan bebas. Umur seminggu, benih bisa diberi makan infusoria. Minggu berikutnya diberi makanan yang ukurannya lebih besar seperti artemia atau dapnia.
Seperti halnya ikan tetra lainnya, Palmeri ini juga banyak diminta oleh para eksportir ikan hias. Melihat prospek yang cukup baik, barangkali tidak ada salahnya kalau kita mulai membudidayakan ikan hias ini secara intensif.
2011/03/14
Serpae ( Hypherssobbrycon serpae ), Ikan Pajangan Yang Atraktif
Ikan tetra ternyata bukan hanya neon, kongo atau kaisar. Tapi masih ada beberapa lagi, salah satunya yang lain itu adalah Serpae. Memelihara ikan yang satu ini merupakan suatu keasyikan tersendiri. Sebab, kemana-mana ia selalu bergerombol. Gerakan manuver bergerombolan itulah yang membuat kita betah memandangnya.
Kalau ingin menikmati kelebihan serpae sebagai ikan pajangan yang atraktif, tempatkanlah 8 - 12 ekor ikan yang bisa mencapai panjang 4 cm ini dalam sebuah akuarium besar. Disana mereka bisa lebih leluasa melakukan gerakan-gerakan atraktif yang penuh pesona. Lebih-lebih kalau pencahayaannya didalam tempat tinggalnya itu baik. Meskipun ia datang dari jauh, dari sungai-sungai besar di Brasil dan Guyana, Amerika Selatan, terrnyata serpae cocok dan betah tinggal di Indonesia. Karena iklim disini sama dengan daerah asalnya, tropis.
Dalam hidupnya, serpae menghendaki air yang bersih, lunak dan sedikit asam dengan pH 6,6 - 6,9. Kesadahan sekitar 60 - 100 ppm. Suhu yang ia kehendaki berkisar antara 24 - 26 derajat Celcius. Soal makan, ikan ini tidak terlalu rewel, hampir semua jenis makanan ia doyan. Hanya kalau ia nanti mau dipijahkan, sebaiknya dipilih jenis makanan yang tidak mengandung lemak. Misalnya seperti jentik-jentik nyamuk atau makanan khas induk lainnya.
Daya tarik lain serpae adalah warna tubuhnya. Sekilas badannya tampak keperak-perakan hingga kuning keemasan. Punggungnya berwarna hijau zaitun. Bagian perut, bervariasi, kadang kuning, hijau, pelangi atau keperak-perakan. Pada waktu tertentu, badan serpae tampak berwarna merah cerah. Terutama badan bagian belakang, sirip punggung berwarna hitam dengan dasar merah dan pinggirannya kuning keemasan. Sirip anus dan ekor berwarna merah dengan bayangan garis hitam yang samar-samar. Antara ikan jantan dan betina, perbedaan warnanya sangat mencolok. Ikan jantan, ikan jantan warnanya relatif lebih cemerlang, sedangkan yang betina suram dan kurang menarik.
Gesit dan Agresif
Alasan orang memilih serpae sebagai penghuni akuarium, disamping warnanya yang indah, juga karena ia agresif dan gesit dalam bergerak. Hal ini dimungkinkan karena bentuk tubuhnya yang kecil, ditambah lagi oleh kebiasaannya di alam. Di alam aslinya, ikan-ikan ini hidup dalam perairan yang berarus deras, disungai-sungai besar seperti Amazon. Karena itu jangan heran bila serpae tidak bisa diam di dalam akuarium, berenang hilir mudik kesana kemari. Sifat dasar ikan serpae, sebenarnya pendamai. terutama bila ia dipelihara bersama-sama dengan yang sejenis dan seukuran. Namun akan lain ceritanya, kalau ia dicampur dengan yang tidak sejenis. Atau sejenis tapi tak seukuran. Bila itu ia merasa seterunya, maka bagi yang merasa paling besar dan kuat, akan melukai yang lemah. Sehingga yang menjadi korban bisa babak belur dibuatnya, bahkan bisa sampai mati.
Pemijahan
Serpae termasuk ikan yang mudah dipijahkan. Kesulitannya hanya pada waktu menentukan jantan dan betina saja. Itupun kalau dilakukan secara individu. Karena antara ikan jantan dan betina kelihatannya sangat mirip. Tapi bila penentuannya dilakukan secara seksama, kesulitan itu bisa diatasi. Selain warnanya lebih cerah, ikan jantan dewasa mempunyai bentuk tubuh yang lebih ramping, jika dibandingkan dengan yang betina.
Untuk pemijahan, sebaiknya calon induk dipilih dari segerombolan ikan. Calon induk yang telah lolos seleksi, dipelihara secara terpisah. Mereka diberi makan yang cukup memngandung gizi. Jika sudah terlihat ada yang matang kelamin, berarti sudah bisa disiapkan tempat pemijahannya. Ikan betina yang matang kelamin ditandai oleh bagian perut yang agak membengkak. Sedangkan yang jantan biasanya kalau sedang birahi, ia tak pernah bisa diam, gelisah dan mondar mandir kesana kesini.
Pemijahan bisa dilakukan dalam sebuah akuarium ukuran ( volume ) 10 -15 liter. Air yang dipakai sebagai media, jangan yang terlalu keras. Suhunya dipertahankan sekitar 24 derajat Celcius. Ke dalam akuarium tersebut perlu diberi tanaman air seperti Cabomba, Myriophyllum atau Hydrilla. Tanaman harus bersih, bebas dari hama dan penyakit.
Ketika memasukkan induk ke dalam akuarium pemijahan, masukkan dulu yang jantan, beberapa saat kemudian baru disusul oleh betina. Bila keduanya sudah berada dalam satu tempat, biasanya yang jantan akan mengambil inisiatif untuk merayu yang betina. Pertama ia berlenggak-lenggok dihadapan betina, kemudian mengitari, lalu memepet betina dengan sangat agresif dan bernafsu. Ketika itulah secara bersamaan yang berlangsung hanya beberapa detik saja, induk betina melepaskan telur dan induk jantan menyemprotkan spermanya. Kejadian seperti itu, dilakukan berulang-ulang sampai kira-kira 20 kali, selama 2 - 4 jam.
Sepasang induk yang baik dan sehat, sanggup menghasilkan ratusan butir telur. Selesai pemijahan, kedua induk harus dipisahkan dari telurnya. Tempat pemijahan itu kini berubah fungsinya sebagai tempat penetasan.
Telur-telur akan menetas setelah 24 jam, dari situlah akan dihasilkan larva kurang lebih sebanyak 300 ekor. Larva sebanyak itu tidak perlu diberi makan, karena mereka masih membawa cadangan makanan berupa kuning telur di perutnya. Baru setelah umur 3 hari, larva diberi makan infusoria. Umur 2 minggu anak-anak serpae sudah kuat berenang dan saat itulah mereka bisa diberi artemia atau makanan hidup lainnya yang sesuai ukuran mulutnya.
Sumber : Suara Karya, 20 November 1991. ( Dokumentasi Trubus ).
Langganan:
Postingan (Atom)